ASSALAMUALAIKUM Wr.Wb

Selamat datang di Forum Komunikasi Remaja Geduren
Hay..hai..buat kalian semua rekan-rekan anggota FOKREN..
mo lihat berita tentang FOKREN?
Datang dan share bersama saya di blog yang sederhana ini..blog nya anak muda yang kreatif dan inovatif....
Selamat menikmati.....

Banner

Hari Kartini Hari Perenungan

Rabu, 20 April 2011

Bisa dibilang, Kartini (Raden Adjeng Kartini) adalah feminis pertama di Indonesia, dengan pemikiran-pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Kalau dunia saja mengaguminya, sebagai wanita Indonesia, rasanya rugi bila kita tidak pernah membaca surat-surat yang ditulis Kartini.

Masihkah Kenal Kartini?
Dalam sejarah, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) diperkenalkan sebagai pahlawan nasional yang memperjuangkan kesetaraan bagi wanita bumiputera, melalui pemikirannya dalam kumpulan surat berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Setelah lebih dari seratus tahun, berapa banyak yang kita kenal tentang Kartini?Paling banter, sewaktu kecil, tiap 21 April, kita berpawai dalam baju nasional, sambil menyanyikan lagi Ibu Kita Kartini.

Jauh sebelum seorang gadis Yahudi, Anne Frank, menuliskan catatan hariannya selama dalam persembunyiannya di Belanda, saat Perang Dunia II (dibukukan dengan judul The Diary of Anne Frank), sesungguhnya Kartini telah lebih dulu melakukan hal yang sama. Dia mengungkapkan pemikirannya secara tertulis, dalam bentuk surat pribadi kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandiri.

Menulis, kegiatan intelektual itu saja sudah jauh melampau zamannya, apalagi bagi wanita Jawa yang hidup akhir abad ke-19. Belum lagi bagi kita menyimak buah-buah pemikirannya, yang sebagian ternyata masih aktua dengan persoalan wanita masa kini. Gaya penulisannya juga sistematis dan mengalir-aslinya dalam bahasa Belanda, sehingga enak dibaca, layaknya karya penulis profesional.

Memahami Kartini tentunya kita jangan membayangkan konteks zaman sekarang, dengan berbagai gadget canggih, yang bisa menghubungkan kita dengan setiap sudut dunia. Saat Kartini menulis surat-suratnya ia hanya seorang gadis Jawa berusia 21 tahun, yang hidup sekitar 130 tahun lalu, di sebuah kota kecil di pesisir Jawa, saat Belanda menguasai bangsa ini. Dengan pemahaman akan zaman itu, kita pantas menyimpulkan bahwa Kartini adalah wanita jenius pada zamannya.

Hendaknya kita juga tidak sinis, hanya karena pada akhirnya Kartini menyerah pada tuntutan adat dan masyarakat patriarkat, yaitu menikah dengan pria yang telah beristri dan beranak. Karena, walaupun ia sendiri tak berhasil menggapai cita-citanya, Kartini telah berhasil membuat wanita Indonesia masa kini bias menanamkan cita-cita setinggi langit dan sekaligus meraihnya.

Dan, Kartini adalah milik kita, milik bangsa kita. Sebelum makin ditelan lupa, tak ada salahnya kita merenungkan dan mengapresiasi kembali pemikiran-pemikiran Kartini yang terangkum lewat surat-suratnya yang legendaris itu.

Tak Takut Mengkritik
“Panggil Aku Kartini”, itulah permintaan Raden Ajeng Kartini saat ia memulai korespodensinya dengan Stella Hartshalt. Ia tak mau namanya ditambahi embel-embel Raden Ajeng. Mungkin, itulah cara Kartini untuk menunjukkan bahwa ia ingin melepaskan beban feodalisme yang dipikulnya, sekaligus ingin menunjukkan bahwa ia adalah wanita merdeka yang bebas berpikir dan bertindak. Padahal, Raden Ajeng bukan gelar bangsawan Jawa biasa, melainkan gelar bangsawan tinggi. DI Eropa sekalipun, hingga saat itu masih banyak wanita berdarah bangsawan yang dengan bangga mencantumkan gelar Lady, Countess, dan sebagainya, pada nama mereka. Namun, bagi Kartini, gelar kebangsawanan justru memberi beban tersendiri. Setidaknya, ia hanya boleh menikah dengan pria yang sama-sama bangsawan tinggi. Dan, karena jumlah mereka tidak banyak, besar kemungkinan dia harus menikah dengan pria yang sudah beristri.

Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa Kartini terlalu memuja peradaban Barat. Mungkin karena di beberapa bagian suratnya, ia suka mengkritik adat dan tradisi bangsanya sendiri yang diaggapnya picik. Namun, sesungguhnya Kartini cukup objektif dalam menilai. Memang, ada beberapa hal dalam kebudayaan Barat yang dikaguminya, namun tak sedikit pula yang tak disukainya dan dikritiknya dengan lumayan pedas.

“Orang Belanda sering menganggap orang Jawa adalah penipu ulung, sama sekali tak dapat dipercaya, dan sekali-sekali tidak mengenal terima kasih. Sungguh, kami tidak berharap bahwa dunia Eropah akan membuat kami lebih bahagia. Bahwa dengan kesungguhan hati kami mengira “Masyarakat Eropa adalah satu-satunya yang murni, yang unggul, dan tak terkalahkan”, masanya   telah lama lampau. (27 Oktober 1902). Misalnya, ia berkali-kali menyaksikan adegan yang ‘meluhurkan budi’, yang dilakukan orang Eropa. Salah satunya, seorang pria Eropa dengan kasar memisahkan dua gadis Eropa yang sedang asyik bercakap-cakap, berpegangan tangan dan saling bersandaran. “Perempuan jahat!” bentak pria Eropa tersebut. Padahal, Kartini mendengar sendiri bahwa isi percakapan kedua wanita itu murni percakapan dua sahabat karib.

Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini sering mendengar orang-orang Belanda mengejek kaum pribumi yang senang mengisap candu. Namun, ketika sang suami hendak menghentikan perdagangan candu, ia justru ditentang oleh seorang anggota Dewan Hindia Belanda. “Bupati terlalu terburu-buru. Jangan lupa, Gubernemen masih sangat membutuhkan uangnya.” “Lihatlah! Jadi bukan bangsa Bumiputera, melainkan Gubernemen sendiri yang tidak dapat melepaskan candu itu”, Kartini mengkritik kemunafikan tersebut. Dalam suratnya yang lain, Kartini melontarkan kemarahannya saat Gubernemen akan menerapkan pajak kepada rakyat miskin. Pupuk kalelawar yang dimiliki orang kecil untuk memberi pupuk ladangnya, akan dirampas pula.

Wanita (Pribumi) Harus Terdidik
Sebelumnya, tak ada yang pernah menanyakan kepadanya, “Kalau besar, nanti, kau ingin jadi apa?” Waktu itu, Kartini duduk di tahun akhir sekolahnya di ELS. Jelas itu bukan pertanyaan yang umum bagi anak perempuan Jawa dari generasinya. Karena itu, Kartini tersentak saat Lesty- teman sekelasnya, anak Belanda mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan sekolah ke Belanda, untuk kemudian menjadi guru. “Kamu sendiri, kelak ingin jadi apa?” (bagian ini ditulis dengan gaya orang ketiga. Kartini menyebut dirinya ‘gadis kecil Jawa itu’).

” Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja!” ujar kakak lelakinya. (Catatan: Setelah menikah, gelar Raden Ajeng berubah menjadi Raden Ayu. Tentunya bila ia menikah dengan pria yang juga bangsawan tinggi). Ia lantas memohon kepada ayahnya untuk diizinkan bersama anak laki-laki bersekolah di Semarang.. tapi, perlahan-lahan tapi pasti, keluar dari mulut sang Ayah, “Tidak!” Namun, penolakan itu justru makin membakar jiwa Kartini. Bahkan, dengan berani ia pernah meminta bantuan kepada Nyonya Abendanon untuk mencarikan  beasiswasa dari pemerintahan agar ia bisa melanjutkan pelajaran ke sekolah guru di Belanda. Ia bercita-cita mendirikan sekolah untuk anak perempuan, khususnya anak perempuna bumiputra, yang selama itu tak pernah diizinkan mengenal kemajuan. Karena, menurutnya, pendidikan bagi kaum wanita sangatlah penting. Ia yakin, wanita yang terdidik kelak juga akan mendidik anak-anak (perempuan)-nya dengan lebih maju. “Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukannya karena perempuan yang  dipandang cocok untuk tugas itu… tapi (karena dari) perempuanlah dapat  dipancarkan pengaruh besar, yang berakibat sangat jauh, baik yang bermanfaat  maupun yang merugikan…. Dari perempuan, manusia menerima pendidikannya  yang pertama-tama, di pangkuannya anak belajar merasa, berpikir, berbicara…  Dan bagaimana ibu-ibu bumiputera itu dapat mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik?” (31 Januari 1901).

Kartini berpendapat, untuk menjadi pengajar, ia terlebih dahulu harus melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Semarang. Untuk itu, ia rela tinggal di biara atau mondok di rumah keluarga Belanda. Roekmini dan Kardinah pun jadi ikut terbakar semangatnya, dengan mengatakan ingin bersekolah bidan ke semarang (meskipun akhirnya Kardinah menyerah dan bersedia dinikahkan dengan Bupati Tegal yang sudah punya istri. Kardinah menikah lebih dulu, melangkahi kedua kakak perempuannya).

Pada dasarnya, ayahnya menyetujui keinginan ketiga gadisnya itu, namun keluarga besarnya menolak keras. Alasannya kalau gadis-gadis itu dibiarkan terlalu bebas, tak ada pria bangsawan yang mau mengambil mereka sebagai istri. Berbagi cara dilakukan keluarganya untuk mencegah Kartini sekolah ke Semarang. Termasuk dengan ‘cara halus’, yaitu dengan ‘mencuri’ kebaya bekas pakai milik Kartini yang belum dicuci untuk dibawa ke dukun. Namun, Kartini malah menganggap hal itu sebagai lelucon yang lucu sekaligus menyebalkan.

Oleh ibu tirinya, Kartini bahkan dianggap gadis aneh, sekaligus kambing hitam dalam keluarga. Tapi, kemudian sang ibu tiri tak bisa berbuat banyak, karena ternyata Roekmini (anak kandungnya) juga tak kalah ‘gila’. Dan sekarang, Ibunda tak dapat menyerang saya (lagi) mengenai kecendrungan liberal saya. Roekmini sama ‘gilanya’ dengan saya, tulis Kartini. Karena terus ditentang, Kartini makin nekat. Kepada Nyonya Abendanon, ia minta tolong agar dicari beasiswa dari pemerintah Belanda untuk bersekolah ke negeri Belanda. Bukan hanya itu, ia juga mengirim surat ke sejumlah pejabat Belanda untuk maksud yang sama.

Akhirnya, keinginan Kartini untuk bersekolah ke Belanda meledak menjadi polemik yang bersifat politis. Sejumlah gerakan feminis di negeri Belanda ramai-ramai menuntut pemerintah Hindi Belanda agar Kartini dan Roekmini secepatnya diizinkan dan diberi beasiswa ke Belanda. Di sisi lain, pemerintah bersikap maju-mundur. Artikel tentang Kartini pernah dimuat oleh Nellie Van KOl, seorang penulis Belanda yang tinggal di Betawi, di De Echo, sebuah surat kabar yang terbit di Hindia Belada. Tulisan itu kemudian banyak dikutip di mana-mana, termasuk di media-media Belanda. Kartini bukannya tak menyadari bahwa dirinya dijadikan bahan politisasi berbagai pihak. Namun, tampaknya ia sudah kepalang basah. Ini ‘iklan’ yang sangat bagus bagi majalah mereka, tulis Kartini dengan pahit.

” Majalah De Hollandase Lelie (sebuah majalah wanita yang terbit di Belanda) menyediakan ruangannya untuk saya dan direktrisnya berulang kali minta supaya boleh memuatkan surat-surat saya. Untuk apa? Untuk iklan! Surat-surat seorang gadis dari Timur, seorang gadis Jawa sejati, buah pikiran orang yang setengah biadab, dan ditulis dalam bahasa Eropah oleh dia (Kartini)    sendiri, aduhai, alangkah menariknya! Dan kalau kelak cita-cita kami kandas dan kami hancur, hal itu tak kalah menariknya”. (27 Oktober 1902)

Salah satu yang menentang keinginan Kartini adalah mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jenderal Van Der Wijk. Alasanya karena.. “Nona-nona tidak boleh bergantung pada amal yang tidak sesuai dengan kedudukan nona-nona sebagai puteri Bupati.”

Namun, Kartini tidak peduli. Kebanyakan orang tak berani mengambil resiko sedikit pun, tulisnya. Bahkan, lanjutnya, kalau perlu ia akan menulis surat kepada Gubernur Jenderal, Menteri, atau bahkan langsung kepada Sri Ratu (Belanda)! Tak sedikit pejabat Hindia Belanda yang mengejeknya. Salah satunya Residen Semarang (orang Belanda) yang bahkan terang-terangan menyebutnya ‘gila’. “Hati-hati, jangang sampai orang lain mendengar. (Kalau sampai mereka mendengar) nanti tidak ada yang mau meminang kamu. Kan sayang kalau kalian berdua (Kartini dan Roekmini) tidak kawin, kalian cantik sekali.

Katakan Tidak Untuk Poligami
Untuk bisa menjabat sebagai bupati, sesuai undang-undang yang ditetapkan pemerintah Hindia Belada, Sosroningrat yang saat itu sudah memiliki 2 anak dari Ngasirah diwajibkan memiliki istri yang berasal dari golongan tinggi. Karena itu, Sosroningrat lantas menikah (lagi) dengan R.A. Moerjam, seorang putri bangsawan tinggi dari Madura. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut ibu kandungnya ‘Ibu’, sedangkan ibu tirinya ‘Ibunda’. Ironisnya, justru Moerjam-lah yang kemudian menjadi pendamping utama Sosroningrat dalam acara-acara formal, termasuk bertindak sebagai ‘ibu’ bagi anak-anak Ngasirah di hadapan publik. Sementara, posisi Ngasirah tak lebih dari seorang pesuruh, yang wajib merawat anak-anak dari madunya.

Kartini dari saudara-saudara sekandungnya bahkan tak diizinkan menjalin hubungan mesra layaknya ibu-anak dengan Ngasirah. Karena, Kartini dan saudara-saudaranya dianggap berderajat lebih tinggi daripada Ngasirah, ibu kandung mereka sendiri. Kalau mereka sedang berkumpul dirumah, sementara Ibunda duduk di sofa, ibu hanya boleh duduk dibawah (lantai).

Itu sebabnya, Kartini kasihan melihat penderitaan ibunya, yang tetap harus hidup serumah dengan madunya dan memendam ketidakbahagiaannya sendiri. “Saya menyaksikan sendiri penderitaan itu dan menderita sendiri karena penderitaan ibu saya. Dan.. karena saya anaknya, tulis Kartini. Bahwa apa yang ditugaskan kepada beliau (Ibunda) luar biasa: (harus) membesarkan anak-anak tiri dan anak-anak kandung beliau sendiri, sementara beliau harus mengizinkan ibu saya selalu ada di sampingnya. Meskipun bagi ibunda, Ibu tidak lebih dari seorang pesuruh. Kasihan Ibu, kasihan ibunda..Dulu dan sekarang mereka (perempuan pribumi) tidak tahu apa-apa. (21 Desember 1900).

Bukan hanya poligami, Kartini juga prihatin melihat wanita-wanita bumiputra yang sudah dikawinkan dalam usia sangat muda. Termasuk dikalangan priayi dan bangsawan. Dalam salah satu suratnya, Kartini mengungkapkan rasa prihatinnya melihat salah seorang putri bupati teman ayahnya, sudah harus menikah diusia 11 tahun, dan menjadi ibu di usia 12 tahun. Tak heran bila bayinya meninggal. Kawin semua itu (karena) banyak yang jatuh cinta, (sepertinya) patut orang  berbangga! tulis Kartini, dengan nada pahit. Ia sendiri, sampai berusia 24 tahun, belum mau menikah. Bahkan, dalam beberapa suratnya ia menyatakan tidak ingin menikah seumur hidup, karena tak ingin kebebasannya terbelenggu!

Perbedaan Itu Indah
Jauh sebelum orang-orang zaman sekarang menggaungkan tentang hidup damai di tengah perbedaan, Kartini sudah mencetuskannya dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abandanon.
“Kami sering sekali bersahabat dengan berbagai bangsa. Hanya dengan (orang) cina kami tidak boleh berhubungan. Itu kehendak Ayah, dan saya sedih sekali (karenanya). Sebab juga bangsa itu ingin saya kenal dengan pandangan murni. Apa yang kami ketahui tentang orang-orang (Cina) yang sering dipandang buruk itu? Kami tidak dapat dan tidak mau menerima bahwa tidak ada sesuatu yang bagus, luhur dan mulia ditemukan di antara bangsa itu. Tidak, kami tidak setuju dengan penghinaan umum terhadap kaum Cina”. (14 Desember 1902).

Sebagi muslim, ia sangat menghargai agama-agama lain. Namun, kadangkala kekagumannya terhadap orang-orang dari agama tertentu, ditafsirkan degan cara berbeda, Misalnya, ketika ia mengungkapkan bahwa ia sangat mengagumi para misionaris (khususnya para biarawati Katolik), ia dianggap ingin masuk Kristen. Padahal, ia mengagumi karena mereka memiliki jiwa luhur yang rela meninggalkan kenikmatan duniawi untuk mencurahkan hidup mereka kepada perbuatan amal di negeri asing. Dalam satu suratnya, Kartini bercerita, ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk mencoba kehidupan para misionaris itu selama beberapa waktu, sejumlah kenalan Belanda-nya berkomentar. “Oh, kamu pasti (ingin) jadi Kristen. Untuk kami, ini akan menjadi baik.Celaka kamu kalau kamu menjadi fanatik Islam dan kamu mulai mengkhotbahkan perang agama…”

(Hal-hal) seperti inilah yang membuat kami demikian lama membelakangi agama…karena kami banyak sekali melihat peristiwa yang menunjukkan ketiadaan kasih sayang yang dilakukan orang-orang dengan kedok agama. Lambat laun, barulah kami tahu, bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan  manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci adalah kasih sayang. Dan, untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruslah seseorang menjadi kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan kafir pun dapat juga hidup dengan kasih sayang yang murni. (14 Desember 1902)

Menyerah Bukan Berarti Kalah
Memasuki usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi, baik di Semarang maupun di Belanda, tak  akan pernah terlaksana. Padahal, ia sudah mengikuti kursus privat bahasa inggris dan bahasa Prancis. Desakan dan tantangan keluarga yang kuat agar ia segera menikah, membuat mentalnya kelelahan. Ia sedang menunggu jawaban dari pemerintah Belanda mengenai izin beasiswanya ke Belanda, ketika ayahnya menerima pinangan Bupati Rembang, R.M.A.A. Djojo Adiningrat.
Sehubungan dengan pernikahan itu, kepada Nyonya Abendanon, Sosroningrat, ayah-anda Kartini, menulis surat berikut:

“Saya tidak berkeberatan sama sekali bahwa dua perempuan kami melanjutkan pelajaran agar kelak membuka sekolah bagi anak-anak perempuan bumiputera. Tetapi, apabila mereka mungkin bertemu dengan seorang yang patut bagi mereka, saya (lebih) suka melihat mereka kawin. (14 September 1903)”. Ironisnya, sang bupati sudah punya tujuh anak, dan masih memiliki dua istri. Istri pertamanya, seorang Raden Ayu, telah meninggal dunia, sementara dua istrinya bukan dari kalangan bangsawan. Karena itu, ia ingin menikahi Kartini, untuk menggantikan posisi istri pertamanya. Keputusan sang ayah membuat Kartini menyerah, meski dengan hati hancur.

“Saya (kini) adalah tunangan Bupati Rembang, seorang duda dengan 7 anak dan dua istri (selir)… Mahkota saya sudah lenyap dari dahi saya. Sekarang saya tidak lebih sedikit pun dari sisanya. Saya seperti ribuan (perempuan) lainnya yang hendak saya tolong, tetapi yang (ternyata) jumlahnya hanya saya tambah saja… Aduhai Tuhan saya, belas kasihanilah saya. Berilah saya kekuatan untuk menanggung penderitaan saya. (10 Juli & 14 Juli 1903). Namun, di tengah keputusasaanya, Kartini tak mau menyerah begitu saja. Beruntung sang Bupati Rembang termasuk pria pribumi yang berpikiran maju, cerdas, dan idealis, karena pernah bersekolah di Leiden. Kartini mengajukan syarat agar ia tetap bisa mewujudkan cita-citanya, yaitu mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan pribumi di Rembang. Bahkan, ia meminta agar anak-anak tirinya yang perempuan menjadi murid-murid pertamanya. Sang bupati menyetujuinya.

Kartini menikah dengan R.A.A.A Djojo Adiningrat pada 8 November 1903, dan otomatis namanya menjadi Raden Ayu Djojo Adiningrat. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Roekmini menceritakan bahwa dalam upacara perkawinan adat jawa yang dijalani kakaknya, Kartini menolak mencium kaki suaminya, seperti yang selalu dilakukan pengantin wanita. Kartini tak mau membungkukkan badan untuk menyembah sang suami saat upacara panggih (kedua pengantin dipertemukan). Sang suami sempat terperanjat, namun dengan bijaksana ia menjulurkan kedua tangannya untuk meraih tangan Kartini, kemudian keduanya berjalan berdampingan. Sikap suaminya yang progresif dan berjiwa besar itulah yang pelan-pelan membuat Kartini mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Bahkan, ia akhirnya bisa menghormati sang suami. Dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon setelah ia menikah, Kartini berjanji tidak akan membiarkan nasibnya dan nasib adik-adik perempuannya dulu terulang pada anak-anak suaminya.

“Kemerdekaan perempuan (bumiputera) akan merupakan buah (dari) penderitaan dan kesedihan kami. Anak-anak perempuan Bupati Rembang barangkali akan menjadi perempuan-perempuan merdeka, karena mereka memiliki ibu (tiri) dan pendidik seorang perempuan yang berpikir luas.” (1 Agustus 1903). Saat Kartini tengah menanti kelahiran anak pertamanya, ia menulis bahwa ia sudah menyiapkan sudut untuk si bayi, tempatnya tidur saat ia mengajar. “Sekaran ada sesuatu ala Hilda Van Suylenburg (seorang tokoh feminis di Belanda): seorang ibu yang pergi bekerja dengan bayi yang masih menyusu.” (6 Agustus 1904)

Surat pertama Kartini kepada Rosa Abendanon bertanggal 13 Agustus 1900, tak lama setelah pertemuan pertamanya dengan suami isteri Abendanon. Surat terakhir tertanggal 7 September 1904. Sepuluh hari kemudian, Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun, akibat kejang perut (yang saat itu belum diketahui penyebabnya), empat hari sesudah melahirkan anak pertamanya. Bayi lelakinya selamat dan kemudian diberi nama Raden Mas Singgih (Soesalit).

Kartini Yang Memberontak
Lahir 21 April 1879 di Jepara, Kartini adalah anak keempat dari R.M.A.A. Sosroningrat, seorang wedana di Mayong sebuah kawedanan tak jauh dari Jepara yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara dengan istri pertamanya, Mas Ayu Ningsirah. Dari istri kedua ayahnya R.A. Moerjam, Kartini memiliki seorang kakak dan dua orang adik. Jadi, total ia punya 10 saudara kandung dan tiri. Kartini, Surat-Surat Kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandiri dan Suaminya, dianggap yang paling lengkap memuat surat-surat Kartini. Buku ini merupakan proyek kerja sama antara Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, Leiden, Belanda, dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, terbitan Djambatan, 1987. Mengutip Sulastin Sutrisno, guru besar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (yang menjadi penerjemah dan penulis kata pengantar buku itu), kekecewaan dan kepedulian Kartini terhadap nasib wanita (bumiputera) bermula dari kondisi keluarganya sendiri. Betapa ia menyaksikan sendiri dan ikut merasakan pederitaan yang harus ditanggung ibu kandung dan ibu tirinya akibat poligami yang dilakukan ayahnya.

Sebagai puteri bupati, Kartini berhak bersekolah di ELS (Europesche Lagere School, setingkat SD) yang dikhususkan untuk anak-anak Belanda serta anak-anak pejabat tinggi pribumi di Jepara. Tak heran bila ia fasih berbahasa Belanda, akrab bergaul dengan anak-anak Belada, dan tahu tata krama Barat. Seperti beberapa teman Belanda-nya di ELS, Kartini juga memendam cita-cita menjadi guru, karena ingin memajukan kaum wanita pribumi. Bahkan, ia bertekad melanjutkan sekolah ke Belanda. Sayang, mengikuti tradisi zaman itu, di saat usianya 12 tahun, setamat ELS, ia harus meninggalkan sekolah selamanya. Ia mulai dipingit di rumah, sambil menunggu datangnya pinangan dari pria yang biasanya tak pernah dikenal sebelumnya.

Pada saat dipingit itulah Kartini banyak membaca buku dan majalah, khususnya yang berbahasa Belanda, yang disediakan oleh sang ayah. Sebetulnya, ayahandanya yang sangat dicintai Kartini termasuk pria pribumi yang progresif dan berpikiran maju. Ia tak keberatan melayani sikap kritis Kartini. Menurut Kartini, kalau saja sang ayah punya keberanian untuk mendobrak tradisi, mungkin saja ia diizinkan ke Belanda untuk melanjutkan sekolah. Pada masa pingitan ini pula Kartini memulai korenspodensi dengan beberapa wanita Belanda, baik yang ada di Hindia Belanda (Indonesia) maupun di negeri Belanda. Salah satu sahabat penanya bernama Stella Hartshalt, seorang anggota militan gerakan feminis di Belanda, yang dikenalnya lewat program sahabat pena di De Hollandse Lelie, sebuah majalah wanita yang waktu itu sangat terkenal di Belanda. Kemungkinan berkenalan dengan ide-ide tentang feminisme. Namun, tampaknya hati Kartini merasa paling dekat dengan Rosa Abendanon. Rosa adalah istri J.H. Abendanon, pejabat Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda untuk melaksanakan kebijakan politik etis, dan kemudian diangkat menjadi Direktur Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hidia Belanda. Keluarga Abendanon tinggal di Betawi, tepatnya di daerah Kebon Sirih.

Saat berkunjung ke Jepara, suami-istri Abendanon mampir ke rumah keluarga Sosroningrat dan bertemu dengan Kartini dan adik-adiknya. Rupanya, pertemuan ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi Kartini dan kedua adik perempuannya, Roekmini (adik tiri) dan Kardinah (adik kandung). Dari kalimat-kalimat di suratnya, terasa betapa Rosa Abendanon telah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Kartini. Kepada Nyonya Abendanon-lah Kartini dan sesekali juga adik-adiknya menumpahkan semua pemikiran, cita-cita, juga isi hatinya (termasuk penderitaannya) lewat beratus lembar surat yang ditulis dengan tangannya sendiri. Saking sayangnya, Kartini kerap menyapa Rosa dengan sebutan “Ibuku Tercinta” atau “Kekasihku Tersayang”.

Setidaknya, ada sekitar 150 surat yang pernah dikirim Kartini dan kedua adiknya kepada Rosa Abendanon. Dari jumlah itu, Kartini menulis sekitar 95 surat. Isinya ada yang pendek, ada yang berpuluh lembar sekali kirim. Tata bahasa Belanda-nya yang bagus, membuat beberapa pihak sempat meragukan bahwa surat-surat itu bukan ditulis oleh Kartini sendiri. Namun, seiring perjalanan waktu dan berbagai investigasi, terbukti bahwa surat-surat tersebut memang asli ditulis oleh Kartini. Seperti juga The Diary of Anne Frank, surat-surat Kartini ditulis layaknya kepada seorang sahabat, yang sangat dihormatinya. Isinya lebih tepat disebut curahan hati, terkadang riang, di saat lain sangat emosional. Kadang-kadang ia menceritakan kejadian sehari-hari, tetapi tak jarang meletup buah pikiran dan cita-citanya yang terhitung sangat progresif untuk zamannya.

Tak jarang, ia mendiskusikan buku-buku yang telah dibacanya, atau berita-berita yang baru didapatnya dari koran. Ayahnya memang berlangganan koran, yang dikirim setiap hari ke rumahnya. Dari situ diketahui bahwa di dalam ‘gua’ pingitannya, Kartini membaca banyak sekali buku yang menarik. Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh J.H.Abendanon, suami Rosa, dalam bahasa Belanda. Cetakan pertama diterbitkan ‘s-Gravenhage, Van Dorp (1911, semarang-Surabaya) dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Namun, karena hanya isinya sangat penting dan fenomenal, khususnya bagi perjuangan wanita bumiputera di Hindia Belanda, surat-surat itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah (Sunda, Jawa), serta sejumlah bahasa asing. Kumpulan surat-surat Kartini, antara lain diterjemahkan ke bahasa:
  • Inggris - Letters of a Javanese Princess (1920), diterjemahkan oleh A.L Symemrs. Dengan judul yang sama disunting dan diterjemahkan ulang oleh H.Greetz (New York ,1964)
  • Jepang  - Hi Kariwa ankoku wo koete; Kartini no tegami (1955), oleh Hayasaka Shiro.
  • Prancis - Lettres de Raden Adjeng Kartini; Jave en 1900, oleh I.Ch.Damais (1960, La  Haye, Mouton, Paris)
  • Lebanon - Alhajat Alkadimat Wairuh Alhadissja; Bikalam Raden Adidjin Kartini (1926, Beirut)- penerjemah tak diketahui
  • Sunda - Ti Noe Poek ka Noe Tja'ang: Seseratan Raden Adjeng Kartini (1930, Balai Pustaka) oleh R. Satjadibrata
  • Jawa - Mboekak Pepeteng;  Isi Pethikan Saking Serat-Seratipoen Raden Adjeng Kartini (1983, Surabaya), oleh R. Sasrasoegonda
Puluhan buku tentang Kartini mulai dari biografi, esai, semi-fiksi, hingga roman juga telah diterbitkan, sebagian karya penulis dan sejarawan terkenal dalam dan luar negeri. Antara lain:

    * Panggil Aku Kartini Saja  (Pramoedya Ananta Toer, 1962)
    * Kartini; Een Baanbreekster voor Haar Volk (M.C. Van Zeggelen, 1945, roman)
    * Kartini, Sebuah Biografi  (Sitisoemandari Soeroto, 1977)
    * Essai de Bibligraphie sur la Question de Feministe en Indonesie (C.Salmon, 1977)

Sumber: Bonus Femina No.XXXVII.18-24 April 2009 (Ditulis kembali: Iwan Setyawan)

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar