Ibu kita Kartini putri sejati
Putri Indonesia harum namanya
Ibu kita Kartini pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai Ibu kita Kartini putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia
— Kartini, (W.R. Soepratman)
Putri Indonesia harum namanya
Ibu kita Kartini pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai Ibu kita Kartini putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia
— Kartini, (W.R. Soepratman)
Kartini, Raden Ajeng/Ayu (bukan nama depan) adalah perempuan yang selayaknya menjadi kebanggaan bangsa. Tetapi cukupkah sekedar membanggakannya, memberinya gelar pahlawan, atau memperingati hari lahirnya? Bagaimana dengan gagasan-gagasannya, siapa yang berani mengimplementasikannya? Siapa yang setia dan konsisten berjuang bagi orang lain, bahkan hingga berkorban? Pengorbanan yang bahkan prinsipil.
Kartini berkorban dengan darah dan air mata. Tak banyak yang tahu atau peduli manakala hatinya kesakitan, menangis tersedu, saat ia tak boleh sekolah, semata-mata karena seorang perempuan. Ia dipingit, seperti banyak perempuan lain saat itu. Itulah pengorbanan. Padahal mimpi dan cita-citanya bersekolah adalah untuk kemajuan bangsa dan kemajuan perempan, “Dan tidak hanya untuk perempuan saja, tetapi untuk masyarakat Bumiputra seluruhnya pengajaran kepada anak-anak merupakan berkah?” (surat 31-1-1901)
Adalah benar adanya pernyataan Kartini itu. Kartiini hadir dengan gagasan dan praktek pembebasan bukan hanya untuk perempuan tetapi juga untuk masyarakat terjajah, kemiskinan dan adat istiadat yang merugikan. Kartini mengaktualisasikannya dengan antara lain membantu pengrajin perak dan kayu. Kartini menjadi mediator yang menerima pesanan dari Belanda kepada pengrajin. Kartini pun berupaya agar pengrajin lebih dapat meningkatkan mutu desainnya dengan mengadakan semacam training dan meminta tolong kepada yang lebih ahli.Masih banyak lagi pelajaran yang bisa diserap dari gagasan dan tindakan Kartini, bila kita mau. Kartini menjalani hidup dengan kekuatan menggapai apa yang dipercayainya, menjadi manusia mandiri. Katini melaluinya dengan pengorbanan, pengharapan, serta kegembiraan. Pengorbanannya saat ia memilih menerima pernikahan dan menjalani poligami untuk bisa mendirikan sekolah “Jika tujuan saja yang dikejar dengan jalan ini lebih cepat dan lebih pasti dapat saya capai, apa salahnya untuk menempuh jalan itu”, pengharapanya saat memulai sekolah akan lebih banyak orang yang berakal dan berwatak, dan kegembiraannya saat mendengar Abdulah Rivai mendapatkan beasiswa belajar di Batavia.
Tulisan bisa panjang jika saya berupaya menuliskan gagasan dan pemikiran Kartini, meskipun saya sebenarnya senang sekali jika ada kesempatan itu. Saya akan bisa bercerita banyak tentang gagasan Kartini. Mungkin tak akan habis, dan tentunya selalu relevan, kaya, multidimensi, dan penuh makna. Seperti gagasannya tentang tubuh perempuan, “diajarkan satu mata pelajaran lagi, yaitu pengetahuan tentang tubuh kita, bentuk dalam dan bentuk luarnya serta tugas yang harus dilakukan tiap bagian jasad manusia untuk mempertahankan hidup dan kesehatan” (surat 10-6-1902) dan paling relevan tentang Barat dan Timur.”
Adalah hal yang patut disayangkan bila pemikiran dan gagasan Kartini tersendat tak sampai ke pikiran dan hati jutaan perempuan di mana pun berada. Bahkan hampir tak pernah masuk dalam buku teks sekolah, apalagi dipelajari. Sehingga tak banyak perempuan memahami pemikiran dan gagasannya, terlebih konteks jaan di mana Kartini hidup. Bahkan tudingan negatif mengenai pemikiran dan perjuangan Kartini pun lahir, turut mengaburkan maknanya.
Kartini memang mengakui bahwa ia belajar dari Eropa dan menyerap nilai positif dari sana, “Bukan hanya suara-suara dari luar; dari Eropa yang sampai kepada saya yang menyebabkan saya ingin mengubah keadaan sekarang ini. Sejak saya masih kanak-kanak… pada waktu kata emansipasi belum mempunyai arti apa-apa bagi saya dan tulisan itu masih di luar jangkauan saya, dalam hati saya sudah timbul keinginan untuk mereka, bebas, dan berdiri sendiri.”
Betapapun hujaman dan pengabaian Kartini, kita tak akan pernah menganggap pilihan yang ditetapkan Kartini, Roekmini, dan Kardinah adalah pilihan mudah, kenyataannya tak ada perempuan lain dengan kesempatan dan privelege sama (ningrat) berani mengambil langkah mereka: memaknai hidup, betapapun kerasnya, untuk selalu berjuang.Kartini tak pernah berharap apa-apa, bahkan mungkin tak menyadari bahwa yang ditulisnya kemudian menjadi sangat berarti, tetapi benarkah begitu, seerapa jauh kita mampu menyerap semangat dan pemikiran Kartini seperti katanya, “…kami hendak memberikan diri kami seluruhnya, kami tidak minta apa pun bagi diri kami, kami hanya ingin agar dikerjakan sesuatu terhadap yang menyedihkan dan kejam, agar dibuat permulaan dari akhirnya”. (surat 21-12-1901)
0 komentar:
Posting Komentar